Jumat, 16 Desember 2016





 “Apa yang hendak kamu lupakan, Lail?”
“Aku ingin melupakan hujan.”

—(hal 9).


Ruang 4X4 dengan lantai pualam kala itu lebih mencekam dari biasanya—ruang terapi Syaraf Otak.  Monitor pembaca emosi, kursi dengan alat-alat penghubung pasien dengaan monitor, dan Elijah sang fasiltator yang ikut hanyut oleh ungkapan seorang gadis berusia 21 tahun.

Lail, gadis berusia 21 tahun datang untuk menghilangkan banyak memori tentang Hujan.  Karena hujan selalu datang pada saat-saat tergelap Lail beberapa tahun belakang. Meski sebelumnya, hujan datang pada saat-saat yang paling terang. Namun semua sudah tak tertahankan. Lail ingin menghapus ingatannya tentang hujan.



Ruang 4X4 dengan lantai pualam menempatkan Lail dan Elijah pada kejadian delapan tahun silam. Kejadian yang di ungkap oleh Lail tepat pada tanggal 21 Mei 2042, saat bayi kesepuluh miliar baru lahir ke dunia.

“CONGRATULATION! Selamat penduduk bumi! Kita baru saja mendapatkan bayi yang ke sepuluh milyar!” Berkali-kali berita di layar televisi menyiarkan hal itu.

Saat itu, ketika dunia dihadapkan pada isu pertambahan penduduk yang semakin mengeksponensial dan seakan tak bisa dibendung, ketika dunia sedang mencari jalan keluar atas luar biasa banyaknya orang-orang di bumi dan krisis yang menyertainya, tiba-tiba alam menyediakan solusi tersendiri.

Siklus itu datang, sebuah gunung purba meletus dahsyat dengan suara letusan terdengar hingga 10.000 kilometer. Menyemburkan material vulkanik setinggi 80 kilometer dan menghancurkan apa saja dalam radius ribuan kilometer.

Letusan yang lebih hebat dibandingkan letusan Gunung Tambora dan Gunung Toba puluhan ribu tahun silam itu secara efektif dan signifikan berhasil mengurangi jumlah penduduk dunia hanya dalam hitungan menit.

Kisah pilu berawal, saat Lail harus kehilangan orang tuanya saat kereta kapsul bawah tanah tak kuat membendung gempa dan getaran dahsyat. Lail, yang masih berusia 13 tahun itu seakan memiliki kehidupan baru ketika seorang anak laki-laki bernama Esok menyelamatkannya pada sebuah tangga darurat yang hampir runtuh.

Hujan pun datang— mewarnai tiap kisah Lail bersama Esok. Mulai dari berteduh di tempat pengungsian kehidupan kedua, perkenalan dengan Ibu Esok, Menjadi relawan pengungsian, bertemu dengan Maryam, sahabat pengungsiannya, dan segala kejadian yang penuh warna.
Esok anak yang sangat cerdas. Ia diangkat menjadi anak Walikota dan melanjutkan sekolah di Luar Negeri dengan berbagai macam penelitian untuk menyelamatkan manusia dari kepunahan.  

Ruang 4X4 dengan lantai pualam menempatkan Lail dan Elijah sampai pada dimensi waktu yang sebenarnya. Setelah panjang mengungkapkan kejadian, Elijah yang dari awal terbawa suasana oleh cerita Lail semakin hanyut oleh suasanya yang justeru mencekam. Sebuah kapal luar angkasa yang hanya menampung 10.000 manusia dengan Tiket yang di berikan pada sembarang orang, beberapa jam lagi akan diumumkan. Atau kalau tidak , kepunahan manusia akan terjadi. Hanya yang memiliki tiket yang dapat menjadi bagian dari upaya penyelamatan manusia dari atmosfer nan futuristik.— Penemuan Esok. Tak ada kabar bahwa Tiket itu akan diberikan padanya.

 “Apa yang hendak kamu lupakan, Lail?”
“Aku ingin melupakan hujan.” 

Lail ingin melupakan Esok — Garis biru pada monitor yang berisi kenangan sudah tak lagi tampak.

Semakin Lail ingin melupakan, semakin kenangan itu erat, semakin tak bisa terlupakan.

Kenangan itu tak pernah hilang sedikitpun. Tak disangka Esok datang di hadapanya, membersamai langkahnya apapun yang akan terjadi.

***

Menyelami Novel Hujan selama 4 jam membuat saya hanyut pada dimensi waktu 34 tahun mendatang. Saat dimana teknologi begitu canggih, dengan ledakan penduduk drastis, namun saat itu dimana alam tak lagi mampu membendungnya. Hanyut dalam kejadian yang tak pernah terduga---Kehilangan yang digantikan oleh Kehadiran--- Kehadiran yang berawal manis, dengan alur kisah penuh teka-teki, antara kebahagiaan yang diselimuti oleh perjuangan meraih mimpi dan segudang penantian. Namun dibaliknya terdapat sebuah kekecewaan. Cara yang paling ampuh untuk semua itu adalah Melupakan.

Tapi tidak semudah itu, tidak selamanya begitu.


“Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.” ― Tere Liye

“Bukan seberapa lama umat manusia bisa bertahan hidup sebagai ukuran kebahagiaan, tapi seberapa besar kemampuan mereka memeluk erat-erat semua hal menyakitkan yang mereka alami.” ― Tere Liye

Thanks for Reading~
Husna Ayu Efrita



0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Qoutes

Never Stop To Learn
Smile it's one of the best things in your life ^^
Flag Counter

Translate

Popular Posts