Minggu, 22 Januari 2017


"Dengan harga saham penutupan kemarin sore, nilainya satu miliar pounsterling, Zulkarnaen." Sir Thomson mengusap rambut putihnya" — Hal 11.



Zaman Zulkarnaen. Seorang pengacara Firma Hukum terbaik, Thompson & Co. di Belgrave Square, London. Zaman bekerja di Firma Hukum terbaik dengan prinsip-prinsip yang kokoh penuh atas nilai-nilai luhur. Zaman memiliki tugas untuk menangani secara langsung warisan dari Klien senilai satu miliar poundsterling. Yang dengan warisan sebesar itu, si klien lebih kaya dibanding Ratu Inggris dan keluarganya. Namanya bisa masuk dalam 100 orang terkaya di Kerajaan Inggris.

Namun klien tersebut tidak memiliki ahli waris. Tidak ada pula surat wasiat secara langsung. Hanya berupa surat keterangan atas harta warisan yang di kirimnya dari alamat sebuah panti jompo. Seorang perempuan tua, yang juga asli Indonesia seperti Zaman. Berusia 70 tahun, dan belasan tahun tinggal di panti jompo, pemegang paspor Inggris serta izin menetap di Perancis, aktif dalam kegiatan berkebun di panti jompo.

Zaman menerima tugas untuk melakukan settlement.
Zaman menghela napas panjang — setelah Sir Thompson hilang di balik pintu, lalu meraih selembar kertas di atas meja. Sudut matanya membaca sebuah nama Klien di sana. Tertegun.

"Sri Ningsih"



Panti Jompo itu berhasil di temukan. Zaman mengorek banyak informasi mengenai Sri Ningsih. Madam Aimee, gadis cantik yang memberi banyak keterangan tentang Sri Ningsih. Saat itu suasana masih berduka atas kematian Sri Ningsih sepuluh hari lalu. Madam Aimee menunjukkan isi kamar dan foto-foto Sri Ningsih. Terlihat foto pertama kali Sri Ningsih tiba di panti jompo itu. Madam Aimee memberikan sebuah buku diary milik Sri Ningsih. Bukunya sangat usang dan ada banyak catatan hidupnya. Zaman membaca tiap lembarnya.

Juz Pertama tentang kesabaran. 1946-1960.
Terima kasih banyak atas pelajaran berharga tentang kesabaran, Bapak. Apakah sabar memiliki batasan? Aku tahu jawabannya sekarang. Ketika dendam kesumat sebesar apapun akan luluh dengan kesabaran. Terima kasih banyak untuk tempat yang telah mengajarkan pelajaran ini. Disini, di tempat di mana rumah-rumah saling bersinggungan atap, tiada tanah, rumput, apalagi pepohonan. Disini, dimana rumah-rumah yang tumbuh dari atas permukaan laut, perhau tertambat di tiang-tiang, kambing-kambing mengunyah kertas. Terima kasih.


Pada catatan pertama bertuliskan kehidupan Sri Ningsih sewaktu kecil. Di rumah-rumah yang tumbuh dari atas permukaan laut, perahu tertambat di tiang-tiang. Zaman mencari tahu keberadaan tempat itu. Pulau Bungin, Sumbawa. Pulau terpadat di dunia. Zaman menatap layar laptop yang memperlihatkan satelit dengan resolusi tajam. Pulau itu luasnya delapan hektare, seluruh pulau hanya terlihat atap rumah. Rapat satu sama lain, rumah-rumah terus merengsek ke permukaan laut. Puluhan kapal tertambat di tiang rumah. Juga di dermaga, ia bisa melihatnya dengan jelas.


Zaman di temani oleh supir jib bernama La Golo. Menelusuri Pulau Bungin. Untuk mencari seseorang yang dapat menceritakan mengenai pulau  Bungin tahun 1940-an. Belasan rumah di kunjungi. Tak ada yg bisa menjelaskan kejadian tahun itu. Pukul sepuluh malam, karena kasihan melihat La Golo kelelahan, Zaman memutuskan menghentikan pencarian sementara. Suasana pulau membuatnya rindu dengan sang Ibu. Zaman menelpon Ibunya. Menayakan kabarnya dan usaha supermarket yang di jalaninya.
"Aku ada di Indonesia, Bu"
"Jakarta? apa kamu akan mampir pulang ke Bandung?"
"Aku tidak bisa mampir, ada pekerjaan Bu. Aku di Sumbawa saat ini"
"Hei, apa yang di lakukan pengacara top dunia di Sumbawa?"
"Eh" Wajah zaman bersemu merah
"Tidak apa nak, Baru sebulan kamu pulang. Ibu hanya sekedar bertanya apa kamu tak ingin bertemu gadis tetangga sebelah, sebentar lagi dia akan menjadi dok—"
"Selamat malam Bu, aku harus kembali bekerja"
Tawa renyah ibunya terdengar.

Hari ke tiga, Zaman dan La Golo berhasil bertemu dengan Ode, si Pak Tua. Sesuai namanya, Pak Tua adalah nelayan tangguh berusia tujuh puluh tahunan. Tubuhnya kurus, tinggi, fisiknya masih kuat mengarungi lautan. Yang lebih menarik lagi, Pak Tua mengenali Sri Ningsih. Ia menceritakan segala sesuatu yang diketahuinya.

Sri Ningsih adalah anak dari Pelaut tangguh, Nugroho dan isterinya Rahayu. Nugroho tiba di pulau Bungin tahun 1944. Mereka memang bukan keturunan suku Bajo, melainkan dari suku jawa.  Sejak tahun 1940 dia bekerja di kapal kargo milik Stoomvaart II, posisinya adalah juru mudi. Di tahun-tahun itu Sumbawa amat terkenal dengan kerbaunya. Kerbau-kerbau itu di bawa ke Surabaya, atau Batavia, juga di ekspor ke Singapura, China, India, hingga Eropa. Selain membawa muatan cengkih, lada, kayu manis dari perairan Maluku, Sulawesi, S.S. Soemba II juga mengangkut kerbau dari Sumbawa. Nugroho pun punya waktu mengenal Sumbawa dan Pulau Bungin.
Empat tahun bekerja di kapal Belanda, tahun 1943 kapal S.S. Soemba II terbakar di perarian Bali. Nugroho kehilangan pekerjaan. Hingga ia kembali pulang ke pedalaman Jawa. Menyunting gadis kampung bernama Rahayu. Kemudian lahan sawah dari tabungannya. Nugroho banting stir menjadi petani. Tapi Nugroho tidak cakap bertani, lalu menjual sawahnya berkongsi dengan seorang Tauke di Surabaya. Mereka membeli kapal kayu besar, melintasi perairan Surabaya, Bali, Lombok, hingga Sumbawa, membawa barang-barang. Nugroho menjadi nahkoda kapal, tauke mengatur perdagangan. Untuk memudahkan berkumpul dengan keluarga, Nugroho memoyong Rahayu tinggal di Sumbawa Besar. Waktu itu Rahayu sedang hamil muda. Keluarga kecil yang bahagia.

Enam bulan tinggal di Sumbawa, Nugroho di khianati oleh Tauke. Hingga dia di penjara. Selepas di penjara, ia mengajak Rahayu pindah ke Pulau Bungin. Dia menjadi nelayan. Saat itu Pak Tua Ode berusia 9 Tahun. Ayahnya adalah Kepala Kampung. Lama menjadi Nelayan, Rahayu kembali mengandung setelah sebelumnya ia keguguran. Namun saat syukuran kehamilan, Rahayu terjatuh di dapur dan pendarahan. Bayinya berhasil di selamatkan namun tidak dengan dirinya. Bayi mungil itu diberinya nama Sri Ningsih.

Nugrogo menikah kembali dengan seorang bernama Nusi Maratta. Nusi Marata sangat manis dengan Sri Ningsih. Seperti anaknya sendiri.  Karna dia pun amat mencintai Nugroho. Nugroho dikaruniai seorang anak kembali yang di beri nama Tilamuta. Sri yang pandai berhitung dan mencintai pelajaran bahasa, akan di belikan hadiah dari Bapak tercintanya.
" Bapak lihat, sepatumu semakin robek Sri?"
Sri mengangguk
"Bapak akan memberikan sepatu yang baru Nak"
"Tidak usah di belikan juga tidak apa-apa Pak"
"Bapak sudah janji, hadiah ulang tahun mu ke sembilan"

Pada hari ke empat belas kelahiran Tilamuta, Nugroho kembali berangkat melaut. Dia sudah berjanji dengan saudagar untuk mengambil barang dari Surabaya. Dia juga sudah berjanji untuk membelikan Sri sepatu baru di Surabaya tepat di hari ulang tahunnya. Meski Nusi Marata mencoba membujuk untuk tidak pergi, karna sedang musim ombak tinggi, namun Nugroho tetap pergi. Nugroho berpesan agar Sri menyayangi Tilamuta dan patuh pada ibunya. Sri mengangguk. Sri menatap punggung bapaknya dari kejauhan.

Hari ke enam, ke tujuh, hingga ke sembilan kapal bapaknya tak kunjung datang. Sri berkali-kali menunggu di dermaga. Namun ada kabar bahwa kapal Nugroho tenggelam di perairan Bali. Terjebak badai besar, puting beliung di tengah lautan. Seluruh awak kapal meninggal. Tak ada yang tersisa. Sejak saat itu Sri tak lagi bersekolah. Nusi Maratta menjadi sangat murka dengannya. Dia pun bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan mencari bulu babi dan teripang yang kemudian di jualnya. Bulan-bulan berlalu penuh merangkak. Setiap pagi buta ia harus menyuci pakaian, mengepel, mencari bulu babi dan teripang, hingga malamnya harus mengambil air yang jaraknya sangat jauh. Bahkan dia pun harus memasak. Memenuhi segala kebutuhan keluarga. Pak Tya Ode sering melihat Sri yang mencari teripang dan mengangkut air hingga malam hari dengan perhau. Sri terlihat begitu tangguh seperti Nugroho. Namun Nusi Maratta tetap merasa tidak puas dengan kerja keras Sri. Hingga seringkali Sri tidur di teras hingga separuh tubuhnya lembab terkena tampiasan air hujan. Sri anak yang tangguh. Ia selalu berusaha menepati janjinya. Sri pernah jatuh sakit, orang sekitar kampung sudah mencoba mengingatkan Nusi Maratta namun terus seperti itu. Ketika sakit, Sri tinggal di rumah Kepala Kampung. Rumah ayah Pak Tua Ode, namun Sri cepat ingin kembali pulang. Sesampainya dirumah ia melihat rumahnya sedang dilanda kebakaran hebat. Warga sekitar berusaha memadamkan api. Namun ia tidak melihat ibu tiri dan adiknya. Mereka masih terjebak di dalam. Tidak ada yang berani menerobos api, namun Sri bertekad untuk menerobos dan menyelamatkan Tilamuta yang terjebak di kamar. Namun Nusi Maratta tertimpa rerentuhan dan Sri tak bisa menyelamatkannya. Kata maaf terucap dari Nusi Maratta atas segala sikapnya terhadap Sri dan meminta Sri untuk menjaga adik tirinya, Tilamuta.

Tak terasa enam jam mereka berada di rumah Pak Tua dan mendengarkan ceritanya.




Bersambung—

( Review : Hal 1 s/d 140
atau Bab 1 s/d 10)

Judul  : Tentang Kamu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun Terbit :  2016
Tebal halaman : 524 Hal.

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Qoutes

Never Stop To Learn
Smile it's one of the best things in your life ^^
Flag Counter

Translate

Popular Posts